Ujong Mangki, Kehidupan Setelah Rantau Sialang
tampak dari jauh pula dua terlihat dari pantai ujong mangki | photo : acehlens.co |
Sudah pernah ke Aceh
Selatan?
Kalau belum,
main-mainlah kemari !
Bagi anda yang pernah ke Aceh Selatan
dengan tujuan ke daerah Bakongan atau ke Aceh Singkil pasti akan melewati
daerah yang mana hutan sepanjang jalannya, yang ada hanya monyet yang menyapa
anda disamping jalan,yang merupakan salah satu bagian dari Gunung Leuser namanya
“Rantau Sialang”.
Nah, yang ingin saya ceritakan disini
bukan Rantau Sialangnya, tapi kehidupan setelah rantau sialang. Ujong Mangki
adalah desa pertama yang akan anda jumpai setelah berakhirnya Rantau Sialang.
Ujung Mangki salah satu desa kecil yang termasuk dalam Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.
Biasanya orang-orang yang ingin menuju ke
arah Kluet Selatan ini lebih mudah menyebut nama Bakongan, karena nama Bakongan
lebih familiar di masyarakat, karena selain menjadi “kota kecil” di daerah itu,
Bakongan juga terkenal dengan nama salah satu ulama kharismatik Aceh “ Alm. Abu
Bakongan” yang mendidrikan Dayah Ashabul Yamin.
#Back to Ujong Mangki.
pohon kelapa pesisir Ujong Mangki | acehlens.co |
Saya sendiri pernah tinggal di desa “mati
penuh kesunyian” ini selama 8 tahun kalau tidak salah. Saat itu menurut saya
desa ini ibarat kampung mati penuh kesunyian, karena yang terdengar hanya
desiran ombak, kemudian suara mobil di jalan dan sesekali terdengar suara mesin
“Chansaw [Gergaji Mesin]” yang memotong kayu di hutan raya, yang entah legal entah ilegal, saya
kurang tahu karena masih kecil saat itu.
Desa ini salah satu desa pesisir Aceh
Selatan yang masyarakatnya dominan berprofesi sebagai nelayan, dan
sebahagiannya petani.
Mengenai jarak dari mulai masuk kawasan rautau
sialang ke desa ini saya kurang tahu secara detail, karena saya lupa menghitung
jaraknya, tapi kalau saya tidak salah sekitar 10 KM.
Tapi, meskipun menurut saya desa ini
sangat sunyi, saya sangat menikmati desa ini karena keindahan dan kekayaan
lautnya. Masa kecil saya habiskan di desa ini hingga kelas 3 SD kemudian saya
hijrah ke Kluet Utara.
Saya tidak bisa membayangkan keindahan
masa kecil di desa ini, yang sehari-hari saya habiskan di laut, bermain, mandi,
membantu nelayan mendorong sampannya yang baru pulang melaut, kemudian kami dikasih
jatah membantunya dengan beberapa ikan yang langsung kami bakar di tepi laut
tersebut yang masih segar dan maknyus.
Belum lagi musim “tarek pukat” kami
sama-sama bergotong royong menarik pukat nelayan, kami tertawa bahagia
dan sangat menikmatinya. Ditambah lagi dengan musim panen “udang sabu” (bahasa aceh :
sabe) yang pagi-pagi buta, sudah terlihat orang-orang kampung mendorong jaring
sabunya di pesisir laut. Pokoknya selama laut bersahabat dengan kami, untuk
urusan lauk pauk lebih Alhamdulillah. Tapi disaat cuaca laut tidak bersahabat,
kami masih punya kebun yang hijau dengan sayur mayurnya dan ikan asin yang
masih tersimpan.
Kemudian, saat kami haus, kami punya
pohon kelapa, yang dengan mudah kami petik dan meminum airnya dan menyantap
isinya. Duch enaknya !
Paginya seperti biasa layaknya anak
sekolah, kami menuju ke salah sekolah yang ada di desa itu SDN Ujuong Mangki
namanya, maklum kami dulu tidak ada sekolah TK, kemudian siangnya kami mengaji
di TPA (Taman Pengajian Al Qur’an) yang di pimpin oleh tengku gampong setempat.
SDN Ujong Mangki, satu-satunya sekolah disini | acehlens.co |
Diwaktu libur ngaji dan sekolah kami menjelajah
alam sekitar untuk berburu burung-burung yang sangat mudah kami dapatkan saat
itu, ada burung brujuk, cicem tiong bate, jalak aceh, dan aneka
burung lainnya. Selebihnya kami membantu orang tua di kebun dan mengembala
kambing sambil menikmati angin sepoi-sepoi tiupan angin laut. Tertidurlah saya
saat itu saat menggembala.
Kami pun tidak mau ketinggalan dengan
orang lain yang menikmati weekend yang ke pantai makan bersama keluarga,
kami pun demikian. Pantai yang berada tepat di belakang rumah kami hanya tinggal
mengambil tikar membawa makanan dan makan bersama orang tua adik, kakak saudara
dan tetangga. Indah sekali bukan ?
Dari desa ini pun terlihat pulau-pulau
yang berada di ujung Aceh Selatan, kami menyebutnya Pulau Dua, salah satu pulau
lainnya yang bernama “Pusong. Tapi, jika tak ada pulau-pulau itu, pemandangan
para nelayan dilaut dengan boat aneka ragam mereka pun sudah menjadi keindahan
tersendiri bagi kami.
Kemudian bagi kami anak kecil mencari uang sangat mudah saat itu,
kami datangi saja salah satu pabrik pengolah ikan asin yang ada, disini ada toke-toke
ikan yang akan mengupah kami dengan membersihkan sisik ikan. Tidak terlalu sulit
mengusir sisik ikan bagi kami, tidak perlu pisau, cukup dengan sebelah bambu
kecil yang kami tajamin belahannya langsung dech kami sikat sisik ikannya. Kami
dibayar berdasarkan berapa ember ikan sanggup kami habiskan sisiknya. Saat itu
seribu uang pun sangat berharga, bisa jajan sepanjang hari lagi.
Tapi kini, desa itu tak
seindah masa saya tinggal disana dulu, sekarang daratan kami yang lumayan luas untuk bermain ditepi laut
saat itu , sudah menjadi daratan yang semakin hari samakin dimakan oleh laut
sehingga banyak rumah yang harus hijrah dan rusak dihantam ombak. Abrasi
melanda desa ini. Pemerintah pun turun tangan dengan membuat tanggul. Tapi
warganya sudah berkurang karena memilih pindah ke derah lain karena kekhawatiran
mereka semakin hari semakin dekat dengan laut. Saya pun tidak tahu bagaimana
saat ini anak-anak kecil seusia kami dulu menikmati masa kecilnya, tapi saya
yakin pasti ada cara masing-masing menimati kehidupan mereka, beda zaman beda
cara, beda cuaca.
Inilah cerita singkat tentang desa yang merupakan kehidupan setelah
Rantau Sialang. Mungkin bagi yang membaca blog ini, Desa yang kami ceritakan
ini tidak terlalu istimewa, tapi paling tidak para pembaca tahu bahwa jikalau
suatu saat nanti ke daerah ini, setidaknya sudah megetahui bahwa desa
yang di jumpai setelah rantau sialang adalah Desa Ujung Mangki.
Sekian saja !
Komentar
Posting Komentar