Mengintip Keunikan Budaya Tradisi Maulid Nabi di Aceh Selatan
Setiap memasuki bulan maulid tepatnya bulan Rabi’ul Awal tahun Hijriah
setiap umat islam pasti akan memperingati Maulid Nabi SAW. Sebagai peringatan
untuk mengingat perjuangan Rasulullah dan melantunkan shalawat kepadanya. Di
Indonesia sendiri peringatan maulid umumnya dilakukan dengan membuat acara
ceramah agama, shalawatan dan kenduri. Selain di mesjid menjadi pusat
pelaksanaannya, kegiatan maulid juga di meriahkan oleh lembaga-lembaga
tertentu, instansi pemerintahan maupun lembaga swasta.
Di Aceh, peringatan maulid juga tidak jauh berbeda dengan daerah
lainnya, selain kegiatannya bercentral di mesjid-mesjid atau meunasah (surau)
juga dilaksanakan di rumah-rumah warga masing-masing sesuai kemampuan dan
kemudahan rezeki.
Di Kabupaten Aceh Besar misalnya, kegiatan kenduri maulid selain di
mesjid, juga di laksanakan di rumah-rumah layaknya adanya kenduri seperti pesta
pernikahan, baik itu dalam partai kecil maupun besar. Biasanya tuan rumah akan
mengundang sanak keluarga, tetangga, teman, kerabat kerja, untuk menikmati
hidangan layaknya acara-acara kenduri biasanya. Sebahagiaanya juga mengundang
anak-anak pesantren untuk melantunkan shalawat di rumah-rumah. Setelah itu
sorenya, kegiatan maulid berpusat di mesjid atau meunasah (surau) dengan
kegiatan Like Aceh (shalawatan) kemudian menjamu tamu undangan warga-warga
sekitar, perdesanya dengan jumlah hidangan yang banyak atas sumbangan warga
desa tuan rumah. Biasanya setiap rumah (bagi yang mampu) menyumbang satu hidang
makanan (satu talam), kemudian panitia mendata, mengumpulkan dan membagikan ke
tamu undangan per kafilah masing-masing terdiri atas berbagai desa yang sudah
disediakan tempat duduknya.
Selain untuk memperingati kelahiran nabi, kegiatan sudah menjadi budaya bagi
masyarakat Aceh turun temurun, dengan adanya kenduri maulid ini dapat
meningkatkan tali silaturahmi antar warga dan desa, karena setiap desa pasti
akan melaksanakan maulid dengan hari dan tanggal berbeda dengan desa lainnya
dan saling mengundang. Setiap minggunya selama bulan maulid setiap desa pasti
ada kegiatan maulid di Aceh.
MEREKAM KEUNIKAN TRADISI MAULID DI ACEH SELATAN
Tahun 2018, saya mendapat kesempatan melihat pelaksanaan
maulid di Aceh Selatan tepatnya di Desa Krueng Batee
Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan. Sebagai putra kelahiran Aceh
Selatan yang saat ini sudah mukim di Aceh Besar, saya mengupayakan untuk pulang
kampung setahun sekali untuk mengunjungi saudara dan kerabat. Pada tahun 2018
tersebut, kebetulan pulang kampung saya pilih di awal tahun dan ternyata
bertepatan dengan pelaksanaan maulid di desa kelahiran saya ini. Sejak kecil
sebenarnya saya sudah mengikuti tradisi maulid disini, bahkan dulu waktu masih
jadi santri TPA saya termasuk salah satu anggota Like Aceh di desa, yang sering
menghadiri undangan maulid untuk mempersembahkan Like Aceh atau shalawat nabi
di rumah warga maupun di desa-desa.
Saat itu, tradisi maulid yang dilaksanakan oleh warga desa ini
biasa-biasa saja menurut saya. Dan hal berbeda saya temukan setelah saya hijrah
ke Aceh Besar sejak tahun 2004. Pelaksanaan maulid di Aceh Besar kurang lebih
seperti yang telah saya ceritakan diatas. Awalnya saya merasa aneh dengan
kegiatan maulid di Aceh Besar layaknya kenduri pesta, karena tetangga maupun
kerabat tuan rumah diundang ke rumah untuk menikmati hidangan layaknya pesta.
Dan Hal berbeda yang saya temukan di Aceh Selatan, tepatnya di daerah kelahiran
saya ini.
Disini, kemeriahan maulid berpusat di masjid atau meunasah atau surau
(bagi desa yang tidak ada masjid di desanya). Undangan kerumah seperti di Aceh
Besar tidak ada disini, bukan tidak ada sebenarnya, ada hanya saja tidak
seperti di Aceh Besar layaknya orang menghadiri pesta, paling yang di undang
hanya tetangga samping rumah, dan itupun tidak banyak. Karena setiap warga
sudah terlebih dahulu makan di rumah masing-masing. Tapi informasi yang saya
dapat, ada yang mengundang tamu dalam jumlah besar disini, terjadi di
rumah-rumah tertentu, di rumah pejabat maupun di rumah-rumah tokoh besar
masyarakat misalnya, dan itupun tidak semuanya berlaku. Intinya dalam hal ini
sangat berbeda dengan yang ada di Aceh Besar.
Hal unik lainnya juga terlihat pada sajian hidangannya, disini warga
menyajikan makanan bukan dalam bentuk hidangan talam, melainkan dalam
rumah-rumah hiasan kecil (Bale ; Bahasa Aceh). Bentuk dari bale tersebut dihias
dengan aneka warna, dan arsitekturnya pun berbeda sesuai dengan kreatifitas warga
masing-masing. Didalam sekat-sekat bale tersebut diselipkan aneka makanan,
mulai dari nasi, lauk, dan buah-buahan yang terdiri dari permen, air mineral,
snack-snack ringan, bahkan sebahagiannya ada yang menyediakan rokok yang
dililitkan sekitar permukaan bale tersebut khusus untuk orang dewasa.
Kreatifitas warga sangat dituntut dalam menghias hidangan mereka masing-masing,
dan inilah yang menjadi ciri khas dari segi penyajian makanan.
Untuk pelaksanaannya, sama halnya dengan Aceh Besar, desa tuan yang
bertindak tuan rumah akan mengundang desa-desa tetangga. Hanya saja, di Aceh
Besar tamu undangan datang ke desa tuan rumah hanya untuk menikmati hidangan
saja, biasanya tamu datang lebih awal saat Like Aceh masing berlangsung
tepatnya ba’da Ashar. Peserta like dari warga tuan rumah, baik itu dari warga
desa sendiri maupun kelompok Like Aceh tertentu yang di undang untuk tampil.
Setelah Like Aceh selesai, tamu undangan mulai duduk di tempat kafilah
masing-masing bersiap untuk menyantap sajian hidangan yang telah disediakan.
Dan hal ini tidak berlaku di Aceh Selatan, disini pelaksanaanya biasanya
dimulai pukul 14.00 WIB (Ba’da Dhuhur). Dan desa undangan bukan hanya datang
untuk menikmati hidangan saja. Mereka dituntut untuk menampilakan Like Aceh
atau shalawat, sesuai dengan kemampuan mereka masing. Terlihat layaknya sebuah
lomba. Masing-masing desa larut dalam irama dan syair like masing-masing dengan
kelengkapan sound system masing-masing. Siapa yang lebih bagus sound system dan
syairnya dialah yang terlihat lebih baik. Dan biasanya setiap desa memang sudah
ada syair masing-masing dengan sound system yang standar. Semua kelompok desa
bershalawat dan bersuara dengan gerakan like-nya pun berbeda sesuai
dengan kreatifitas masing-masing.
Penampilan like inilah yang menjadi tontonan warga tuan rumah, selain
menikmati syairnya, ritme gerakan like-nya (lingik :
Bahasa Aceh) yang pesertanya terdiri diri orang dewasa hingga
anak-anak kecil berumur berkisar 5 tahun ke atas. Ini juga bagian dari pada
keunikan dan keindahan sendiri.
Kemudian, setelah beberapa jam tampil, peserta like (warga desa tamu
undangan) akan disuguhkan dengan hidangan berupa buah-buahan dan minuman.
Hidangan tersebut juga tidak ubah layaknya hidangan makanan berupa bale. Hanya
saja, di dalam bale tersebut hanya dipenuhi oleh buah-buahan dan minuman. Sesi
jamuan pertama selesai, tamu undangan kembali melanjutkan like, dan gerakannya
sudah berubah, sesi pertama gerakan biljulus (dengan cara duduk) dan berubah
menjadi gerakan bilqiyam (dengan posisi gerakan berdiri).
Setelah like ini selesai, barulah tiba saatnya menghadiahi tamu undangan
(peserta like) dengan bale atau hidangan berupa makanan. Setiap desa akan di
suguhi dengan jumlah bale yang sesuai jumlah orangnya, dengan prediksi makanan
mencukupi semua peserta.
Setelah semua bale masuk ke kafilah desa masing-masing, barulah isi-isi
bale tersebut diserbu oleh tamu undangan, dan dalam durasi 5 menit saja seluruh
isinya bisa lenyap. Disini isinya berupa makanan tidak dimakan di tempat,
melainkan untuk dibawa pulang, makanya dalam sekejap bisa lenyap. Karena setiap
bale tersebut sudah di sediakan kantong plastik untuk membawa pulang bekal
maulid tersebut.
Setelah semua isi bale habis, barulah para tamu undangan mengangkat kaki
untuk kembali ke daerah masing-masing dan bersiap-siap menunggu undangan dari
desa lainnya. Dari kegiatan maulid tersebut, paling tidak ukhuwah antar desa
terikat semakin erat dan sebagai momen untuk mengingat perjuangan Rasulullah
melalui shalawatnya.
Rekaman Kegiatan Maulid di Aceh Selatan :
Sekian.
*semua foto milik pribadi acehlens.com
Komentar
Posting Komentar